KHALIFAH JA’FAR AL-MANSUR

Abu Ja’far
Al Manshur
Khalifah Abu
Ja'far al-Mansur (101-158 H/732-775 M) adalah putera Muhammad bin Ali bin
Abdullah ibn Abbas bin Abdul Muthalib dilahirkan di Hamimah pada tahun 101 H.
Ibunya bernama Salamah, bekas seorang hamba. Al-Mansur adalah saudara Ibrahim
al-Imam dan Abul Abbas al-Saffah. Ketiganya dikenal sebagai tokoh pendiri
dinasti Abbasiyah. Bahkan Abu Ja'far al-Mansur dikenal sebagai pendiri dinasti
Abbasiyah yang sebenarnya, karena dialah peletak dasar-dasar dan sistem
pemerintahan Bani Abbas. Ia pula yang mengatur politik pemerintahan dinasti
Abbasiyah.
Sebutan al Mansur sendiri adalah gelar takhta
yang ditambahkan kepada nama aslinya. Gelar takhta itu ternyata lebih populer
dan mudah dikenal daripada nama aslinya. Ini menjadi semacam tradisi dalam
kekhalifahan Dinasti Bani Abbasiyah. Seperti as Saffah untuk Abu Abbas, al
Rasyid untuk Harun, al Amin, al Makmun, dan lain-lain
Al-Mansur memiliki kepribadian kuat, tegas, berani, cerdas, dan
memiliki pemikiran cemerlang. Dalam usia 36 tahun, ia telah menjadi khalifah
menggantikan kedudukan Abu Abbas al-Saffah yang telah wafat. Di usia yang
begitu muda, ia tampil ke depan menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah
melanda pemerintahan dinasti Abbasiyah. Keberhasilannya dalam mengatasi
persoalan-persoalan dalam negeri dinasti Bani Abbasiyah, membawa harum nama
Bani Abbas dan memperkuat dasar pemerintahan dinasti Abbasiyah.
Selain itu, al-Mansur juga dikenal sebagai
seorang khalifah yang agung, tegas, bijaksana, alim, berpikiran maju,
pemerintahannya rapi, disegani, baik budi, dan seorang pemberani. Keberaniannya
ini diperlihatkan dengan kemampuannya mengatasi pemberontakan-pemberontakan
yang dilakukan oleh pamannya, yaitu Abdullah bin Ali. Karena itu, ia berhasil
membangun kekuasaan dan memantapkannya dengan berbagai strategi politik dengan
menyusun peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya.
Pemerintahan abu
ja’far al mansur
Setelah diangkat menjadi khalifah, Abu Ja’far al Mansur segera
membuat beberapa perombakan dalam bidang pemerintahan. Dia mulai menerapkan
sistem baru. Dia mengangkat seorang wazir. Wazir yang bertugas sebagai seorang
koordinator antardepartemen yang ada. Jabatan wazir ini hampir miri dengan perdana mentari.
Wazir pertama yang diangkat Abu Ja’far al Mansur adalah Khalid bin Barmak. Dia berasal dari suku Balk, Persia. Bangsa Persia (Iran) yang pada masa Dinasti Bani Umayyah dimusuhi, tetapi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah mendapatkan perhatian yang berlebih. Khalid bin Barmak menurut catatan adalah orang yang sangat berpengaruh dalam hal menentukan kebijakan-kebijakan.
Kedekatan Dinasti Bani Abbasiyah dengan suku balk ditandai dengan adanya beberapa khalifah yang menikah dengan wanita-wanita dari Persia. Para putra mahkota juga sejak kecil mendapatkan didikan dari orang-orang terkenal yang berasal dari bangsa Persia. Khalid bin Barmak termasuk orang yang dipercaya untuk mendidik dan mengajar para putra mahkota.
Wazir pertama yang diangkat Abu Ja’far al Mansur adalah Khalid bin Barmak. Dia berasal dari suku Balk, Persia. Bangsa Persia (Iran) yang pada masa Dinasti Bani Umayyah dimusuhi, tetapi pada masa Dinasti Bani Abbasiyah mendapatkan perhatian yang berlebih. Khalid bin Barmak menurut catatan adalah orang yang sangat berpengaruh dalam hal menentukan kebijakan-kebijakan.
Kedekatan Dinasti Bani Abbasiyah dengan suku balk ditandai dengan adanya beberapa khalifah yang menikah dengan wanita-wanita dari Persia. Para putra mahkota juga sejak kecil mendapatkan didikan dari orang-orang terkenal yang berasal dari bangsa Persia. Khalid bin Barmak termasuk orang yang dipercaya untuk mendidik dan mengajar para putra mahkota.
Yang pertama kali
dilakukan Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur setelah dilantik menjadi khalifah pada
136 H/754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah.Pada masa pemerintahan abu ja’far al mansur
membangun jalur-jalur administrasi pemerintahan, mulai
dari pusat hingga ke daerah ditata dengan rapi sehingga sistem dan roda
pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakannya ini menimbulkan dampak yang
positif di kalangan para pejabat pemerintahan, karena terjadi koordinasi dan
kerja sama yang baik di antara mereka. Koordinasi dan kerja sama itu terjadi
antara Kepala Qadhi (Jaksa Agung), Kepala Polisi Rahasia, Kepala Jawatan
Pajak, dan Kepala Jawatan Pos. Hal itu dilakukan untuk melindungi masyarakat
dari berbagai tindakan yang tidak adil dengan memberikan hak-hak masyarakat.
Dengan demikian, pemerintahan Khalifah Abu
Ja'far al-Mansur berjalan dengan baik, sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
sehingga keamanan dan ketertiban terjamin dengan baik. Dengan kata lain,
kebijakan khalifah ini sangat berpengaruh terhadap sistem dan tatanan kehidupan
sosial politik, sehingga dinasti Abbasiyah mengalami perkembangan dan kemajuan
dengan pesat, khususnya setelah pemerintahan berada di bawah kekuasaan Khalifah
Harun al-Rasyid dan generasi penerusnya.
Selama
masa kepemimpinannya, kehidupan masyarakat berjalan tenteram, aman dan makmur.
Stabilitas politik dalam negeri cenderung aman dan terkendali, tidak ada
gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan.
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur
sangat mewaspadai tiga kelompok yang menurutnya dapat menjadi batu sandungan
Bani Abbasiyah dan dirinya. Kelompok pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik
kandung Muhammad bin Ali, paman Abu Ja’far sendiri. Ia menjabat panglima perang
Bani Abbasiyah. Kegagahan
dan keberaniannya dikenal luas. Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta
sangat berambisi menjadi khalifah.
Kelompok kedua dipimpin Abu
Muslim Al-Khurasani, orang yang berjasa besar dalam membantu pendirian Dinasti
Abbasiyah. Karena keberanian dan jasa-jasanya, ia sangat disegani serta
dihormati di kalangan Bani Abbasiyah. Masyarakat luas banyak yang menjadi
pengikutnya. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur khawatir pengaruh Abu Muslim
terlalu besar terhadap pemerintahan Bani Abbasiyah.
Kelompok ketiga adalah kalangan
Syiah yang dipimpin pendukung berat keturunan Ali bin Abi Thalib. Masyarakat
luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan mereka membawa
nama-nama keluarga Nabi Muhammad Saw.
Setelah berhasil mengantisipasi
kelompok-kelompok yang dapat menjadi batu sandungan pemerintahannya, Al-Manshur
kembali dapat mencurahkan perhatiannya pada pengembangan kebudayaan dan
peradaban Islam. Ia adalah orang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan,
sehingga memberikan dorongan dan kesempatan yang luas bagi cendekiawan untuk
mengembangkan riset ilmu pengetahuan. Penerjemahan buku-buku Romawi ke dalam
bahasa Arab, yang menjadi bahasa internasional saat itu dilakukan secara khusus
dan profesional. Ilmu falak (astronomi) dan filsafat mulai digali dan
dikembangkan.
Pada awal pemerintahannya, Khalifah
Abu Ja’far Al-Manshur benar-benar meletakkan dasar-dasar ekonomi dan keuangan
negara dengan baik dan terkendali. Oleh sebab itu, tidak pernah terjadi defisit
anggaran besar-besaran. Kas negara selalu penuh, uang yang masuk lebih banyak
daripada uang keluar. Ketika Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur meninggal dunia,
harta yang ada dalam kas negara sebanyak 810.000.000 dirham.
Ada kisah menarik tentang Abu
Ja’far Al-Manshur dan Abu Hanifah. Ketika selesai membangun Baghdad, Abu Ja’far
mengundang para ulama terkemuka. Imam Abu Hanifah termasuk di antara mereka.
Saat itulah Abu Hanifah ditawari
sebagai Hakim Tinggi (Qadhi Qudha). Namun Abu Hanifah menolak
keras. Ketika diancam agar bersedia memegang jabatan itu, Abu Hanifah
mengucapkan kalimat yang dicatat sejarah, “Seandainya anda mengancam untuk
membenamkanku ke dalam sungai Eufrat atau memegang jabatan itu, sungguh aku
akan memilih untuk dibenamkan.”
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur amat
murka. Apalagi ketika ia mendapatkan laporan bahwa sang imam menaruh simpati
pada gerakan Muhammad bin Abdullah di Tanah Hijaz. Abu Hanifah ditangkap dan
dipenjara hingga meninggal.
Selain meletakkan pondasi ekonomi,
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur juga menertibkan pemerintah untuk memperkuat
kekuasaan Bani Abbasiyah. Penertiban ini dilakukan dalam bidang administrasi
dan mengadakan kerjasama antar pejabat pemerintahan dengan sistem kerja lintas
sektoral.
Khalifah Al-Manshur juga
mengadakan penyebaran dakwah Islam ke Byzantium, Afrika Utara dan mengadakan
kerjasama dengan Raja Pepin dari Prancis. Saat itu, kekuasaan Bani Umayyah II
di Andalusia dipimpin oleh Abdurrahman Ad-Dakhil.
Menjelang pengujung 158 H,
Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah
haji. Namun dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal dunia. Ia wafat dalam usia
63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya dibawa dan dikebumikan di
Baghdad.